Bukan
karena kami saling menyurangi. Bukan karena perempuan atau laki-laki lain yang
kami cintai. This is a complicated case. Kadang aku gak mengerti sama semua
jalan cerita ini. Kenapa awalnya semua terlihat baik-baik saja tanpa setitik
cela? Tanpa ada luka? Aku pikir masalah kita sekarang adalah komunikasi yang
buruk. Akhirnya aku tahu setelah empat bulan atau lebih kita sudah lama tak
saling beri kabar. Hal terparah yang kurasakan bahkan tak ada sapaan di hari
Natal dan Tahun Baru. Oh Tuhan aku cuma dapat satu pesan broadcast. Keadaan
yang memburuk di antara kita tidak sengaja mengajarkanku untuk terbiasa tanpa
kehadiranmu. Apa pun itu. Mulanya aku masih berapi-api saat mendengar namamu
disebut. Sampai akhirnya di satu tahun anniversary kita pun aku sudah tak
merasakan apa-apa. Mungkin aku terlatih. Mungkin sudah sampai pada puncaknya.
Panggilan di ujung telepon yang kuterima rasanya sudah sangat biasa saja. Tapi
apa kamu pernah tahu itu? Tidak kan?
Selain
tak mengerti pada jalan pikiranku sendiri, jujur aku pun tak mengerti lagi
semua tentang kamu. Siapa kita? Aku bahkan tak mengingat lagi bagaimana dulu
kau mengejar-ngejarku. Apa betul aku yang egois? Apa aku memang selalu salah
menyikapimu sehingga kau selalu bilang aku tak pernah bisa menerimamu seperti
apa adanya? Sayang aku cuma pengen yang terbaik untukmu. Bukan untuk
menghalang-halangi kebahagianmu tapi sedikit saja tolong mengerti posisiku
juga. Mungkin aku yang salah. Aku telah tak berhasil memenangkan hatimu. Aku
tak cukup hebat dan tak cukup menarik ketimbang hiburanmu. Ketimbang
teman-temanmu. Seperti aku bukan apa-apa kan? Kupikir waktu yang kau punya
harusnya lebih banyak untukku. Bukannya kau habiskan dengan duniamu sendiri
sehingga selalu lupa mengabariku.
Seseorang
bilang kau akan datang ke sini dengan tujuan utama untuk menjumpai aku. Tidak,
aku tak pernah percaya itu. Bagaimana bisa itu memang tujuan utamamu saat kau
sudah sampai di sini pun aku tak tahu? Surprise huh? Kurasa tidak ada surprise.
Semuanya hanya untuk liburanmu. Semuanya hanya untuk teman-temanmu. Tak ada
sisa waktu untukku.
Miris.
Malam itu aku memaksakan pulang ke Malang saat sedang berada di Paralayang
dengan teman-temanku. Aku pikir kita bisa ketemu. Sampai sekarang aku jamin
kamu belum bisa menebak kenapa aku membatalkan janji di malam itu kan? Bukan
karena aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Tapi karena aku tak berani ambil
resiko. Pasti aku tak akan menemukan zona nyamanku di tengah teman-temanmu.
Mungkin tangisanku saat itu lebih menyalahkan diriku sendiri. Aku tak cukup
berani merebut perhatianmu dari mereka. Teman-temanmu telah mencurimu dariku.
Meskipun aku tak pernah bilang. Dan memang itulah salahku. Tangisanku, semua
air mata itu jelas untuk diriku. Untuk semua kebodohanku.
Perjalanan
ke Bromo kupikir akan memperbaiki semuanya. Memelukmu dalam dingin adalah
sesuatu yang sampai saat ini membuatku sulit bernafas ketika tiba-tiba aku
mengingatnya kembali. Mungkin aku sedikit beruntung tak ada foto kita yang
kubawa pulang. Setidaknya agar aku sedikit tertolong dalam proses melupakan
kita. Hhhhhh.... Aku bahkan tak tahu kenapa terasa sangat canggung menyebutkan
kata “kita”. Beristirahat di bahumu. Oh Tuhan seandainya aku bisa mengulang itu
kembali. Jujur aku rindu. Aku betul aku rindu. Meskipun saat kau membaca ini
kau pikir aku membencimu, tapi tidak, aku justru lebih banyak menyalahkan diri.
Aku lebih banyak salah. Aku tak pernah bercerita. Terlalu tertutup mungkin.
Sayang
aku selalu bilang aku seorang wonder woman. Ingat kan? Tapi bisakah kau
memahami bahwa aku tak sesuper perkataanku? Aku punya banyak kelemahan dan tak
pernah kau bertanya tentang apa yang kurasakan, apa yang kumau. Coba ingat
berapa kali aku pernah menolak ajakanmu. Tak pernah. Aku bahkan selalu
mengedepankanmu di setiap kepentinganku yang lain. Sayang aku juga punya teman.
Bukan aku tak sayang terhadap teman-temanku. Jangan berkata lagi, karena mereka
seperti keluarga untukku. Tapi aku juga bisa menganggapmu penting di depan
mereka. Bahkan terkadang membela kepentingan kita. Membagimu waktuku di atas
waktuku dengan mereka. Seandainya aku bisa mendapatkan yang seperti kulakukan
untukmu itu darimu. Tapi aku tahu semuanya sudah tak ada arti.
Aku
ingat pertama kali kita saling sepakat untuk memutuskan hubungan. Hujan turun
begitu derasnya. Dan seminggu yang lalu itu pun terulang kembali. Malam minggu
cuma sekedar nama. Valentine juga cuma sekedar simbol. Hujan-hujan kau
menjemputku ke kosan dan entah perbincangan apa yang kita bicarakan itu aku pun
tak tahu. Yang kutahu aku ragu dengan kita setelah kau berikan gambaran masa
depan yang kau mau. Sangat jauh dari apa yang kuinginkan. Tapi kamu yang
pertama menawarkan perpisahan. Mencoba menahanmu sehingga setidaknya kita
bertahan sampai hari valentine itu berlalu. Dan aku tahu aku tak pernah berhasil
membujukmu. Selalu gagal memenangkan hatimu. Sabarlah sayang, setidaknya kau
tak membuat valentine setahun yang lalu begitu berbanding terbalik dengan
valentine tahun ini. Jadi karena memang aku sudah tak bisa menahan, kemudian
apa lagi? Ya sudah kita sampai di situ. Ada yang ingin kau katakan lagi?
Rasanya
baru semalam itu aku memandangimu tertidur lelap di pangkuanku. Rasanya masih
bisa kurasakan bagaimana piawainya jari-jariku memainkan helaian rambutmu. Tapi
sekarang semuanya tinggal memori. Memori yang akan kusimpan sendiri sampai kau
akan temukan pengganti. Baru mungkin aku akan menghapusnya perlahan. Atau
bahkan terserah pada waktu, karena mungkin aku memilih untuk selalu
menyimpannya untuk diriku sendiri. Jadi pilihlah yang tidak sepertiku. Carilah
yang bisa memenangkan hatimu. Dan berilah waktumu seperti kau menganggapnya
yang terpenting dalam hidupmu. Mungkin aku akan tetap di sini. Mencoba
menyendiri dulu untuk kemudian bisa terbang dan lalu seseorang akan temukanku.
Seseorang yang bisa menciptakan zona nyaman untukku. Yang tahu aku butuh waktu
darinya dan yang mengerti aku tak setegar yang selalu kupura-purakan. Anyway,
thanks :’)