Dear Past, Thank You for All The Lesssons

There is no time to see backwards. Your future is still pure enough.

The only thing worse than being blind is having sight but no vision

When something bad happens, you have three choices. You can either let it define you, let it destroy you, or you can let it strengthen you.

Do You Know? You are Your Own Hero. Be Brave!

Don't die from a broken heart.

It is Never Too Late to be What You Might Have Been

If you were not happy with yesterday, try something different today. Don't stay stuck.

Things Work Out Best for Those Who Makes The Best of How Things Work Out.

Just believe in yourself. Even if you don't, pretend that you do, and at some point, you will.

If reading is HOT and writing is COOL. Therefore, read my writing is an awesome thing.

Selasa, 13 Oktober 2015

Karena bukan waktu yang singkat aku duduk sebangku denganmu selama 2 tahun

Bolehkah aku bilang bahwa aku begitu bahagia ketika kita berkomunikasi lagi di akhir bulan September kemarin? Itu membuatku seperti mengingat cerita masa SMA dulu. Untukmu yang aku tak ingin sebutkan nama, aku akan bercerita gamblang tentang semua perasaanku setelah kita pisah 2 tahun yang lalu.

Kalau melihat ke belakang, sebenarnya sangat tak adil kita bisa berpisah semudah itu. Hanya karena jarak. Atau bahkan hanya karena kebodohanmu. Ceroboh. Gengsi yang berlebihan. Dan dusta.
Terima kasih Tuhan sudah memberikanku kesempatan untuk menyampaikan rinduku kepada laki-laki ini.

Laki-laki yang mengakui kerinduannya setelah aku yang pertama jujur bahwa aku rindu. Dia mengaku gengsi, katanya sudah lama rindu tapi selalu dipendam. Takut kalau-kalau aku akan menertawai kejujurannya. Takut karena menurutnya, merindukanku adalah suatu kesalahan.  Takut karena sepengetahuannya, aku masih menjadi milik seseorang di sana.

Laki-laki yang tak percaya bahwa aku sudah sendiri selama setengah tahun lebih. Tapi aku heran. Mungkinkah kepercayaanmu kepadaku seburuk itu sayang? Karena tak mungkin aku terlalu berani mengakui kerinduanku kepadamu, lalu kemudian mengarang cerita bahwa aku telah putus dari kekasihku.

Tuhan, laki-laki ini tak banyak berubah. Masih saja mengutamakan gengsinya. Masih saja tak bisa bersikap dewasa. Tiba-tiba mengucapkan selamat malam hanya karena aku mengkritik leluconnya. Padahal aku masih ingin berbincang banyak. Nostalgia tentang cerita kami yang dulu, cerita yang begitu indah hingga akhirnya dia sendiri yang mengacaukannya. Membawa perahu kami menepi ke dermaga wanita lain.

Tapi jujur saja aku sudah memaafkan kesalahan itu. Ya, kesalahan. Dia sendiri pun mengakuinya. Dia bilang bahwa di dalam benak terdalamnya, saat itu dia tidak berharap ada yang namanya perpisahan. Dia berharap hubungan kami berhasil. Hanya saja, saat itu dia sudah tak bisa melakukan apa pun lagi. Bahkan untuk membela diri dengan embel-embel kata jarak. Karena dia tahu, seseorang telah berdiri di belakang kami, menggenggam senjata untuk membuat masalah semakin membesar hingga memisahkan kami berdua. Haruskah aku percaya? Atau layakkah untukku mengharap kisah itu terulang kembali? Aku sempat berpikir, “Jangan gegabah, Nel. Mungkin saja kamu sedang terbawa suasana kegalauan tengah malam. Bisa saja yang kamu rindukan bukan laki-laki ini, tapi hanya kenangannya.”

Perbincangan kami semakin mendetail terbawa arus nostalgia SMA. Hingga dia harus mengorek-ngorek alasan mengapa aku berpisah dengan laki-laki yang terakhir kali kupanggil pacar. Aku sudah memberitahu sebagian besar intinya. Tak ada gengsi. Laki-laki ini sudah terbiasa menjadi tempat curhatanku semenjak di bangku masa putih abu-abu dulu. Rasanya nyaman sekali Tuhan. Nyaman sekali menuangkan semua keluh kesahku kepadanya. Aku sempat bertanya apakah dia mengerti dengan semua penjelasanku, karena kata-kata yang kutuangkan sudah berjejer sangat rapi seperti deretan gerbong kereta api.

Jawabannya singkat. Singkat, padat, dan sangat jelas. Benar saja aku tersentak. Tak heran dadaku mulai merasakan sesak. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku langsung kacau, entah aku harus senang, terharu, atau galau. “Tak mungkin aku ragu. Karena bukan waktu yang singkat aku duduk sebangku denganmu selama 2 tahun,” Itu jawabannya. Itu pernyataannya yang membuatku sejenak kacau sambil terdiam mengimajinasikan masa-masa 2 tahun terindah itu. Aku hampir gila.

Tapi tunggu dulu sayang. Benarkah kau sudah betul-betul mengerti tentang siapa aku? Karena ada satu tonggak pernyataan yang gagal kau artikan dariku.  Saat aku bilang bahwa satu alasanku berpisah dengan mantanku adalah karena aku tak menemukan zona nyamanku di tengah teman-temannya. Lalu kau bilang kamu mengerti, karena aku tak nyaman dengan orang-orang baru. Salah sayang. Bukan itu. Jelas saja kau sudah salah.

Kemudian ada satu lagi. Laki-laki ini bilang dia menyesal pernah melakukan kesalahan itu, kesalahan yang menurut dia memang kesalahan besar dan bukan main-main. Hingga tak bisa tidur nyenyak selama sebulan. Menyanyikan lagu, memetik senar gitarnya seraya menyelipkan namaku di lembaran lirik lagunya. Tuhan, kenapa harus seperti ini pengakuan laki-laki ini? Aku ingin sekali menatap langsung pada matanya yang kurindukan itu. Memastikan rasa yang dia pendam, entah memang masih ada atau benar sudah pupus terbuang sempurna.

Tuhan, setidaknya aku tahu bahwa Kau mengerti apa yang terbaik pada masing-masing kami.

Harapanku hanya satu. Sederhana tapi rumit. Ubah mindset mu sayang, tanamkan pohon kedewasaan di dalam pikiranmu, pohon yang buahnya sudah matang, bukan lagi pohon yang selalu berbuah mentah dengan rasa gengsinya untuk berubah mendapatkan rasa terbaiknya.