Bolehkah
aku bilang bahwa aku begitu bahagia ketika kita berkomunikasi lagi di akhir
bulan September kemarin? Itu membuatku seperti mengingat cerita masa SMA dulu.
Untukmu yang aku tak ingin sebutkan nama, aku akan bercerita gamblang tentang
semua perasaanku setelah kita pisah 2 tahun yang lalu.
Kalau
melihat ke belakang, sebenarnya sangat tak adil kita bisa berpisah semudah itu.
Hanya karena jarak. Atau bahkan hanya karena kebodohanmu. Ceroboh. Gengsi yang
berlebihan. Dan dusta.
Terima
kasih Tuhan sudah memberikanku kesempatan untuk menyampaikan rinduku kepada
laki-laki ini.
Laki-laki
yang mengakui kerinduannya setelah aku yang pertama jujur bahwa aku rindu. Dia
mengaku gengsi, katanya sudah lama rindu tapi selalu dipendam. Takut
kalau-kalau aku akan menertawai kejujurannya. Takut karena menurutnya,
merindukanku adalah suatu kesalahan. Takut
karena sepengetahuannya, aku masih menjadi milik seseorang di sana.
Laki-laki
yang tak percaya bahwa aku sudah sendiri selama setengah tahun lebih. Tapi aku
heran. Mungkinkah kepercayaanmu kepadaku seburuk itu sayang? Karena tak mungkin
aku terlalu berani mengakui kerinduanku kepadamu, lalu kemudian mengarang
cerita bahwa aku telah putus dari kekasihku.
Tuhan,
laki-laki ini tak banyak berubah. Masih saja mengutamakan gengsinya. Masih saja
tak bisa bersikap dewasa. Tiba-tiba mengucapkan selamat malam hanya karena aku
mengkritik leluconnya. Padahal aku masih ingin berbincang banyak. Nostalgia
tentang cerita kami yang dulu, cerita yang begitu indah hingga akhirnya dia sendiri
yang mengacaukannya. Membawa perahu kami menepi ke dermaga wanita lain.
Tapi
jujur saja aku sudah memaafkan kesalahan itu. Ya, kesalahan. Dia sendiri pun
mengakuinya. Dia bilang bahwa di dalam benak terdalamnya, saat itu dia tidak
berharap ada yang namanya perpisahan. Dia berharap hubungan kami berhasil.
Hanya saja, saat itu dia sudah tak bisa melakukan apa pun lagi. Bahkan untuk
membela diri dengan embel-embel kata jarak. Karena dia tahu, seseorang telah
berdiri di belakang kami, menggenggam senjata untuk membuat masalah semakin
membesar hingga memisahkan kami berdua. Haruskah aku percaya? Atau layakkah
untukku mengharap kisah itu terulang kembali? Aku sempat berpikir, “Jangan
gegabah, Nel. Mungkin saja kamu sedang terbawa suasana kegalauan tengah malam.
Bisa saja yang kamu rindukan bukan laki-laki ini, tapi hanya kenangannya.”
Perbincangan
kami semakin mendetail terbawa arus nostalgia SMA. Hingga dia harus
mengorek-ngorek alasan mengapa aku berpisah dengan laki-laki yang terakhir kali
kupanggil pacar. Aku sudah memberitahu sebagian besar intinya. Tak ada gengsi.
Laki-laki ini sudah terbiasa menjadi tempat curhatanku semenjak di bangku masa
putih abu-abu dulu. Rasanya nyaman sekali Tuhan. Nyaman sekali menuangkan semua
keluh kesahku kepadanya. Aku sempat bertanya apakah dia mengerti dengan semua
penjelasanku, karena kata-kata yang kutuangkan sudah berjejer sangat rapi
seperti deretan gerbong kereta api.
Jawabannya
singkat. Singkat, padat, dan sangat jelas. Benar saja aku tersentak. Tak heran
dadaku mulai merasakan sesak. Mataku mulai berkaca-kaca. Pikiranku langsung
kacau, entah aku harus senang, terharu, atau galau. “Tak mungkin aku ragu.
Karena bukan waktu yang singkat aku duduk sebangku denganmu selama 2 tahun,”
Itu jawabannya. Itu pernyataannya yang membuatku sejenak kacau sambil terdiam
mengimajinasikan masa-masa 2 tahun terindah itu. Aku hampir gila.
Tapi
tunggu dulu sayang. Benarkah kau sudah betul-betul mengerti tentang siapa aku?
Karena ada satu tonggak pernyataan yang gagal kau artikan dariku. Saat aku bilang bahwa satu alasanku berpisah
dengan mantanku adalah karena aku tak menemukan zona nyamanku di tengah
teman-temannya. Lalu kau bilang kamu mengerti, karena aku tak nyaman dengan
orang-orang baru. Salah sayang. Bukan itu. Jelas saja kau sudah salah.
Kemudian
ada satu lagi. Laki-laki ini bilang dia menyesal pernah melakukan kesalahan
itu, kesalahan yang menurut dia memang kesalahan besar dan bukan main-main.
Hingga tak bisa tidur nyenyak selama sebulan. Menyanyikan lagu, memetik senar
gitarnya seraya menyelipkan namaku di lembaran lirik lagunya. Tuhan, kenapa
harus seperti ini pengakuan laki-laki ini? Aku ingin sekali menatap langsung
pada matanya yang kurindukan itu. Memastikan rasa yang dia pendam, entah memang
masih ada atau benar sudah pupus terbuang sempurna.
Tuhan,
setidaknya aku tahu bahwa Kau mengerti apa yang terbaik pada masing-masing
kami.
Harapanku
hanya satu. Sederhana tapi rumit. Ubah mindset mu sayang, tanamkan pohon
kedewasaan di dalam pikiranmu, pohon yang buahnya sudah matang, bukan lagi
pohon yang selalu berbuah mentah dengan rasa gengsinya untuk berubah
mendapatkan rasa terbaiknya.
0 komentar:
Posting Komentar