Dia cuma seorang gadis biasa yang masih bertingkah naif. Dia tak mengerti banyak tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Yang dia bisa cuma mengamati tanpa berani berbuat banyak. Sesungguhnya dia bukan seorang wanita tangguh yang tidak takut pada masalah, tapi hanya terbiasa dan terlatih mencicipi masalah. Bahkan dia pun sebenarnya tidak begitu tahu, apakah memang itu suatu masalah, atau dia yang terlalu berlebihan menyikapi suatu permasalahan, terlalu hiperbola, kurang pandai bersyukur dan sebagainya. Dia sangat gampang goyah, berdiri tak begitu kuat layaknya batu karang, langsung lesu diterpa gerimis. Dia banyak memendam amarah, itu kenapa setiap permasalahan yang bahkan sekecil apa pun dapat membuatnya patah semangat. Dia tak pandai bercerita banyak. Tapi menyembunyikannya pun tak pernah berhasil. Air mata sudah jadi tamu yang paling sering mengunjunginya. Dia belum temukan bahu sandaran untuk menjemput semua kelegaan yang masih tersembunyi. Cuma mengandalkan diri sendiri untuk melakukan yang terbaik di antara yang paling buruk. Dia sadar itu bukan hal yang bijaksana. Bukan juga kebijakan yang paling bijak. Yang pasti dia ingin selalu terlihat baik-baik saja, untuk menenangkan hati orang-orang di sekitarnya. Berpura-pura tidak ada masalah, meskipun sebenarnya banyak gejolak yang menyelimuti hati. Dia sangat sensitif. Terlalu cepat dipengaruhi omongan buruk orang sekitar. Dia selalu mencoba untuk sekedar menutup telinga. Tapi yang ada air mata malah tak pernah absen melakukan kunjungan rutinnya. Dia selalu tak sabar untuk menjemput masa depan yang lebih cerah. Tapi bodohnya dia yang selalu menginginkan sesuatu di masa lalu. Tak ada yang memberitahunya bahwa masa depan tak akan pernah berhasil jika digabungkan dengan masa lalu. Dia cuma menginginkan sesuatu yang dapat membuatnya mampu tertawa lepas lagi. Dia butuh percaya diri tapi sampai sekarang masih sulit untuk didapatkan. Dia terlatih menyimpan rahasia. Cerita orang lain disimpannya sangat rapi. Dia pun terlatih menenangkan orang lain. Entah kenapa menenangkan dirinya sendiri terasa begitu susah. Dia tak pernah jauh dari headset, karena musik yang akan membantunya tetap diam tanpa perlu bertingkah gusar di atas tempat tidur. Dia tahu siapa namanya. Yang jadi masalah adalah dia tak sepenuhnya kenal siapa dirinya. Dia seperti dua pribadi di dalam satu tubuh. Terkadang menjadi yang satu, terkadang menjadi yang lain lagi. Dia takut menjadi seorang pecundang. Dia selalu merasa bersalah pada siapa yang ada di dalam dirinya. Tak banyak yang tahu, dia merindukan dia yang dulu. Naif.
0 komentar:
Posting Komentar