Tiga hari yang lalu. Tertanggal 24 Agustus 2014. Rasanya dunia benar-benar tak berpihak padaku. Bagaimana tidak? Aku diharuskan berpisah dengan dia yang kusayang karena suatu masalah yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Suatu masalah yang begitu mengunci mulutku untuk berkata-kata. Aku angkat tangan. Belum pernah menghadapi masalah yang sebegitu sulitnya, kecuali melihatnya di dalam film berjudul Mursala.
Adat, marga, kekeluargaan. Orang Batak memang suku yang sampai sekarang masih memegang erat budayanya. Apalagi di tempat kami yang masih berdampingan dengan asal-usul marga, kekerabatan, dan masih akrab dengan yang namanya adat. Sulit ditentang. Peraturannya banyak dan susah dipahami jika tak benar-benar dipelajari. Temanmu, sahabatmu, musuhmu, bahkan seseorang yang sama sekali tidak kau kenali, bisa saja dia saudaramu jika salah satu atau lebih marga di lingkup keluarga kalian berada di garis keturunan yang sama.
Malam itu hujan turun lumayan deras. Dia mengirimiku pesan lewat BBM dan mengatakan sesuatu yang kami berdua tak suka sama sekali. Kebetulan saat itu aku sedang bersama temanku, kami ada di teras rumahku, menunggui hujan reda agar dia bisa pulang segera. Pesan yang kuterima kemudian kuberitahukan kepada temanku, dan kami langsung berangkat menemui dia untuk membicarakan hal penting yang menurutku gila itu.
Hujan masih saja turun. Seakan dia ingin selalu menemaniku di dalam masalah yang sedang menggeluti itu. Hujan kali itu sedikit membantu, setidaknya aku merasa lebih nyaman bercakap-cakap dengan kekasihku. Apa yang salah? Siapa yang mengira bahwa kami akan atau dipaksa berpisah karena masalah marga? Jujur aku sendiri tak terlalu mengerti tentang masalah pelik seperti itu. Yang pasti, katanya itu terlarang. Cepat atau lambat kami juga akan berpisah. Dan yang benar saja, perpisahan itu bahkan datang terlalu cepat.
Pernahkah terbayangkan bagi kita untuk kehilangan seorang yang kita sayang karena masalah yang sama sekali tak pernah kita bayangkan? Aku menggenggam tangannya seolah tak mengijinkan masalah itu membawa dia pergi dari hidupku. Ditemani lagu Someone Like You yang dibawakan oleh Adele, malam itu betul-betul menjadi malam romantis yang terseram yang pernah ada.
Sayang, aku benar-benar angkat tangan. Kenapa sesuatu yang baik itu tidak bisa menetap tinggal saja dalam hidup kita? Memilih antara ya dan tidak, mana aku sanggup! Aku tak pernah mau kehilangan sesuatu yang kuanggap tak pantas untuk pergi. Jika aku memang harus memilih, lebih baik aku berkata tidak tahu. Aku tak mau mengucapkannya, aku tak tahu apa-apa, dan aku tak pernah suka untuk mengakhirinya dengan cara seperti itu.
Aku hanya tak habis pikir. Aku masih terjebak di dalam waktu, menunggui akhir bahagia untuk aku bisa memberikan nilai seperti apa yang kau sebutkan dulu, menungguimu memimpinku berdoa sebelum tidur, menungguimu menyanyikanku lagu yang khusus kumintakan hanya darimu, dan masih banyak penantian lainnya. Dan menurutmu aku bisa mengucapkan "iya" seketika saja dan kemudian aku harus merelakan semua penantian itu tak kan pernah terjadi lagi? Maaf, aku sungguh tak bisa sama sekali. Aku tak suka mengucapkannya. Aku juga minta maaf jika bertingkah kurang dewasa malam itu. Aku tak setangguh yang selalu kuucapkan sayang. Bahkan saat itu aku benar-benar lemah. Terasa sangat sesak di ruangan seluas itu.
Akhirnya apa yang harus terjadi pun terjadi. Memulai hidup yang baru bersamanya dengan embel-embel kata pertemanan di antara kami, just it, tak lebih. Aku sungguh tak menyangka. Akhirnya menjawab "iya" meskipun sangat tak rela. Air mataku pun mulai menetes mengikuti titik-titik hujan yang juga belum reda. Beberapa kali kilat menyambar di luar, cahayanya sampai ke dalam mengirimkan seberkas sinar di wajah kami yang begitu lelah. Kulepaskan tangannya, berharap dia akan mendapatkan yang lebih baik dariku, meskipun hati sebenarnya tak rela.
Jam pun mendekati pukul setengah sembilan. Aku diantar pulang olehnya. Hujan belum juga reda. Masih setia menemaniku bahkan di sepanjang perjalanan ke rumah. Aku cuma terdiam, tak berkata apa-apa kecuali saat dia mengkhawatirkanku karena sudah terlalu basah. Dihentikannya motor itu saat kami sudah sampai di simpang rumahku. Dia masih memintaku untuk segera mengganti pakaian setelah masuk ke dalam rumah, aku sudah terlalu basah, tapi tak berarti apa-apa bagiku, justru aku mengkhawatirkannya karena dia pulang tanpa jaket, dan hujan juga masih berlanjut. Seiring kepergiannya, aku berjalan ke dalam rumah. Rasanya sangat sulit untuk melangkah. Aku masih saja tak habis pikir. Beberapa saat yang lalu aku masih menggenggam tangannya sebagai seorang kekasih, dan saat ini, baru saja dia mengantarku pulang sudah sebagai mantan.
Patah hati bukan lagi sekali dua kali kualami. Sudah sering. Tapi mengapa saat terjadi lagi, rasanya seperti terluka untuk pertama kali? Rasanya aku seperti lupa bagaimana cara bernafas dengan baik.
Sebelum tidur, dia masih mengirimiku pesan. Mengucapkan selamat malam dengan cara yang tak biasa, tak lagi sama. Dalam hati aku masih memanggilnya sayang, meskipun balasan yang kukirimkan hanya menyebutkan namanya. Selamat malam dunia, terima kasih atas ketidakberpihakan ini. Sudah puaskah?
**************
0 komentar:
Posting Komentar